Warisan Budaya China di Indonesia

budaya china

Perubahan sosial sering terjadi di masyarakat. Terutama dalam masyarakat multikultural dan heterogen. Perubahan sosial meliputi segala sesuatu mulai dari filsafat dan bahasa. Salah satu proses umum perubahan sosial di Indonesia dalam seni dan aturan sosial adalah perubahan budaya. Menurut sosiologi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perubahan budaya adalah proses di mana kelompok dan individu memperoleh unsur-unsur dan karakteristik budaya lain.

Proses ini dapat terjadi ketika budaya tertentu muncul di lingkungan kelompok. Unsur-unsur budaya asing secara bertahap diterima dan ditransfer ke budaya kolektif, dan akhirnya, budaya asing diintegrasikan ke dalam budaya mereka tanpa kehilangan karakteristik individu mereka.
Proses kawinnya memakan waktu lama. Tanaman yang telah mengalami proses perdamaian cenderung tumbuh pesat dengan budaya lokal. Indonesia memiliki banyak budaya budaya. Apalagi berbeda dengan budaya Tionghoa. Seperti diketahui, budaya Tionghoa sudah ada di Indonesia jauh sebelum Eropa. Apalagi di Belanda, tentunya budaya Tionghoa akhirnya mulai merambah budaya Indonesia.

Contoh budaya Cina dan budaya Indonesia

Imlek

Perkawinan antara etnis Tionghoa dengan etnis Makassar

Perkawinan beda ras, khususnya antara Cina dan Makassar. Sebagai contoh budaya, menurut jurnal Pena, “Masyarakat Tionghoa Modern di Makassal,” pernikahan antar ras ini membawa perubahan budaya yang signifikan di Makassar.

Ini adalah karakteristik dari proses asimilasi Cina Macassal. Dan suku bangsa ini diterima secara luas oleh mayoritas masyarakat Makassar dan budayanya. Ada banyak tradisi dan adat Tionghoa dalam kehidupan Makassar dan sebaliknya.

Makanan khas Lumpia Semarang

Budaya Samara adalah budaya Tionghoa dan budaya Samara dalam buku “Makanan Indonesia Multikultural” yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lumpia adalah hidangan Cina yang dikenal sebagai cheonghuan atau monpiya, dan istilah itu kemudian digabungkan dengan budaya lokal Lumpia.

Budaya Cina Lumpiya adalah daging babi Vietnam dan rebung, tetapi Shimal tidak makan daging babi dan lebih menyukai rasa manis. Jadi, Monpia diubah menjadi rasa manis yang unik dari kentang, rebung dan udang. Isi hidangan ini semakin banyak berubah. Dari Ayam hingga Telur Hidangan ini kemudian dikenal sebagai Lumpia Semarang.

Arsitektur Klenteng Ling Sii Miao Bali

Di Bali, ada sebuah pura bernama Rimmiao, perpaduan budaya Bali dan Cina. Terletak di Denpasar, Bali, pura ini merupakan tempat peribadatan bagi umat Buddha Bali, dan dalam studi IntraJournal 2017 “Pengembangan Budaya Tionghoa di Bali di bawah TITD”, Ling Be Miao Tana Kirap dari Denpasar menemukan beberapa karakteristik umat Buddha Bali.

Salah satu keistimewaan bangunan ini adalah ornamen khas Hindu (Bali) yang menghiasi menara tersebut. Atau makhluk mitos seperti naga, burung air, cabai, kelelawar, dan singa Dalam agama Hindu (Bali) adegan ini berarti hewan suci, sehingga Tridalma mengartikan hewan ini sebagai pembawa berkah ilahi dan penjaga gereja.

Selain dekorasi, budaya Tionghoa dan Bali menara juga masih terlihat pada arsitektur bangunan, langit-langit, lantai, dan stupa pada pintu.

Baca Juga : Menpelajari Tradisi dan Budaya China

Arsitektur Masjid Al Imtizaj Cikapundung Bandung

Masjid Al Imtijaj Chikapundong adalah masjid bergaya Tionghoa yang dibangun di Bandung pada tahun 2010. Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan dalam Fine Arts Journal menemukan bahwa kata “imtizaj” dalam nama masjid berarti “campuran” atau “campuran” dalam bahasa Cina. Longgu.”

Masjid mewakili tiga budaya: Islam, Cina dan Arab, dan di luar masjid, perpaduan ketiga budaya tersebut dapat dilihat sebagai berikut. Warna utama adalah merah dan kuning. Warna Keberuntungan Budaya Tionghoa Interior masjid didesain sebagai tempat ibadah bagi umat Islam. Kaligrafi Arab digunakan untuk menghiasi kedua sisi masjid.

Arsitektur Masjid Cheng Ho Surabaya

Juga dikenal sebagai Masjid Mohammed Chenpu atau Masjid Chenho, masjid ini didirikan di Surabaya pada tahun 2003. Masjid ini merupakan salah satu bukti budaya Tionghoa dan Indonesia, dan Masjid Cheng Ho dibuka di situs resmi Kementerian Agama Simas dan diberi nama sesuai nama Muslim Tionghoa, Laksamana Cheng Ho.

Laksamana Chen Ho datang ke Indonesia bukan hanya untuk berdagang. Selain belajar dan menyebarkan Islam dari luar, arsitektur masjid ini kaya akan budaya Tionghoa. Mulai dari warna merah, emas, dan hijau hingga atapnya yang tinggi, masjid sangat kaya akan budaya Tionghoa sehingga beberapa orang mungkin salah mengiranya sebagai masjid. Eksterior masjid ini sangat khas China.